Minggu, 20 Juli 2008

ASKEP ILEUS PARALITIK

A.Pengertian
Ileus Paralitik adalah istilah gawat abdomen atau gawat perut menggambarkan keadaan klinis akibat kegawatan di rongga perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan ini memerlukan penanggulangan segera yang sering berupa tindakan bedah, misalnya pada obstruksi, perforasi, atau perdarahan masif di rongga perut maupun saluran cerna, infeksi, obstruksi atau strangulasi saluran cerna dapat menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis. Ileus adalah gangguan pasase isi usus yang merupakan tanda adanya obstruksi usus akut. (http://medlinux.blogspot.com/2007/09/ileus.htm). Ileus Paralitik adalah obstruksi yang terjadi karena suplai saraf otonom mengalami paralisis dan peristaltik usus terhenti sehingga tidak mampu mendorong isi sepanjang usus. Contohnya amiloidosis, distropi otot, gangguan endokrin seperti diabetes mellitus, atau gangguan neurologis seperti penyakit Parkinson. (http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/02/21/obstruksi-usus/). Ileus paralitik adalah keadaan abdomen akut berupa kembung distensi usus karena usus tidak dapat bergerak (mengalami motilitas), pasien tidak dapat buang air besar.(http://drlizakedokteran.blogspot.com/2008/01/
tidak-bisa-buang-air-besak-karena-usus.html). Ileus (Ileus Paralitik, Ileus Adinamik) adalah suatu keadaan dimana pergerakan kontraksi normal dinding usus untuk sementara waktu berhenti. (www.medicastore.com). Dari keempat definisi di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa ileus paralitik adalah istilah gawat abdomen atau gawat perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama karena usus tidak dapat bergerak (mengalami motilitas) dan menyebabkan pasien tidak dapat buang air besar.


B. Etiologi

1. Pembedahan Abdomen

2. Trauma abdomen : Tumor yang ada dalam dinding usus meluas kelumen usus atau tumor diluar usus menyebabkan tekanan pada dinding usus

3. Infeksi: peritonitis, appendicitis, diverticulitis

4. Pneumonia

5. Sepsis

6. Serangan Jantung

7. Ketidakseimbangan elektrolit, khususnya natrium

8. Kelainan metabolik yang mempengaruhi fungsi otot

9. Obat-obatan: Narkotika, Antihipertensi

10. Mesenteric ischemia


C. Patofisiologi

1. Proses Perjalanan Penyakit

Peristiwa patofisiologik yang terjadi setelah obstruksi usus adalah sama, tanpa memandang apakah obstruksi tersebut diakibatkan oleh penyebab mekanik atau fungsional. Perbedaan utama adalah obstruksi paralitik di mana peristaltik dihambat dari permulaan, sedangkan pada obstruksi mekanik peristaltik mula-mula diperkuat, kemudian intermitten, dan akhirnya hilang. Perubahan patofisiologi utama pada obstruksi usus adalah lumen usus yang tersumbat secara progresif akan teregang oleh cairan dan gas (70% dari gas yang ditelan) akibat peningkatan tekanan intralumen, yang menurunkan pengaliran air dan natrium dari lumen ke darah. Oleh karena sekitar 8 liter cairan diekskresikan ke dalam saluran cerna setiap hari ke sepuluh. Tidak adanya absorpsi dapat mengakibatkan penimbunan intralumen dengan cepat. Muntah dan penyedotan usus setelah pengobatan dimulai merupakan sumber kehilangan utama cairan dan elektrolit. Pengaruh atas kehilangan ini adalah penyempitan ruang cairan ekstrasel yang mengakibatkan syok-hipotensi, pengurangan curah jantung, penurunan perfusi jaringan dan asidosis metabolik. Peregangan usus yang terus menerus mengakibatkan lingkaran setan penurunan absorpsi cairan dan peningkatan sekresi cairan ke dalam usus. Efek lokal peregangan usus adalah iskemia akibat distensi dan peningkatan permeabilitas akibat nekrosis, disertai absorpsi toksin-toksin bakteri ke dalam rongga peritoneum dan sirkulasi sistemik untuk menyebabkan bakteriemia. Pada obstruksi mekanik simple, hambatan pasase muncul tanpa disertai gangguan vaskuler dan neurologik. Makanan dan cairan yang ditelan, sekresi usus, dan udara terkumpul dalam jumlah yang banyak jika obstruksinya komplit. Bagian usus proksimal distensi, dan bagian distal kolaps. Fungsi sekresi dan absorpsi membrane mukosa usus menurun, dan dinding usus menjadi edema dan kongesti. Distensi intestinal yang berat, dengan sendirinya secara terus menerus dan progresif akan mengacaukan peristaltik dan fungsi sekresi mukosa dan meningkatkan resiko dehidrasi, iskemia, nekrosis, perforasi, peritonitis, dan kematian.

2. Manifestasi Klinik

a. Obstruksi Usus Halus Gejala awal biasanya berupa nyeri abdomen bagian tengah seperti kram yang cenderung bertambah berat sejalan dengan beratnya obstruksi dan bersifat hilang timbul. Pasien dapat mengeluarkan darah dan mukus, tetapi bukan materi fekal dan tidak terdapat flatus. Pada obstruksi komplet, gelombang peristaltik pada awalnya menjadi sangat keras dan akhirnya berbalik arah dan isi usus terdorong kedepan mulut. Apabila obstruksi terjadi pada ileum maka muntah fekal dapat terjadi. Semakin kebawah obstruksi di area gastrointestinal yang terjadi, semakin jelas adanya distensi abdomen. Jika berlanjut terus dan tidak diatasi maka akan terjadi syok hipovolemia akibat dehidrasi dan kehilangan volume plasma. b. Obstruksi Usus Besar Nyeri perut yang bersifat kolik dalam kualitas yang sama dengan obstruksi pada usus halus tetapi intensitasnya jauh lebih rendah. Muntah muncul terakhir terutama bila katup ileosekal kompeten. Pada pasien dengan obstruksi disigmoid dan rectum, konstipasi dapat menjadi gejala satu-satunya selama beberapa hari. Akhirnya abdomen menjadi sangat distensi, loop dari usus besar menjadi dapat dilihat dari luar melalui dinding abdomen, dan pasien menderita kram akibat nyeri abdomen bawah. 3. Komplikasi Dapat menyebabkan gangguan vaskularisasi usus dan memicu iskemia akibat distensi dan peningkatan permeabilitas akibat nekrosis, disertai absorpsi toksin – toksin bakteri ke dalam rongga peritoneum dan sirkulasi, perforasi tukak peptik yang ditandai oleh perangsangan peritoneum yang mulai di epigastrium dan meluas ke seluruh peritoneum akibat peritonitis generalisata. Perforasi ileum pada tifus biasanya terjadi pada penderita yang demam kurang lebih dua minggu disertai nyeri kepala, batuk, dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defans muskuler, dan keadaan umum yang merosot.dan berakhir pada kematian.


D. Penatalaksanaan Medis

1. Pengobatan dan Terapi Medis

a. Pemberian anti obat antibiotik, analgetika,anti inflamasi

b. Obat-obatan narkose mungkin diperlukan setelah fase akut

c. Obat-obat relaksan untuk mengatasi spasme otot

d. Bedrest

2. Konservatif

a. Laparatomi Adanya strangulasi ditandai dengan adanya lokal peritonitis seperti takikardia, pireksia (demam), lokal tenderness dan guarding, rebound tenderness. Nyeri lokal, hilangnya suara usus lokal, untuk mengetahui secara pasti hanya dengan tindakan laparatomi.


E. Pengkajian Keperawatan

Merupakan tahap awal dari pendekatan proses keperawatan dan dilakukan secara sistematika mencakup aspek bio, psiko, sosio, dan spiritual. Langkah awal dari pengkajian ini adalah pengumpulan data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan klien dan keluarga, observasi pemeriksaan fisik, konsultasi dengan anggota tim kesehatan lainnya dan meninjau kembali catatan medis ataupun catatan keperawatan. Pengkajian fisik dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.

Adapun lingkup pengkajian yang dilakukan pada klien Ileus Paralitik adalah sebagai berikut :

1. Identitas pasien Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, agama, alamat, status perkawinan, suku bangsa.

2. Riwayat Keperawatan

a. Riwayat kesehatan sekarang Meliputi apa yang dirasakan klien saat pengkajian

b. Riwayat kesehatan masa lalu Meliputi penyakit yang diderita, apakah sebelumnya pernah sakit sama.

c. Riwayat kesehatan keluarga Meliputi apakah dari keluarga ada yang menderita penyakit yang sama.

3. Riwayat psikososial dan spiritual Meliputi pola interaksi, pola pertahanan diri, pola kognitif, pola emosi dan nilai kepercayaan klien.

4. Kondisi lingkungan Meliputi bagaimana kondisi lingkungan yang mendukung kesehatan klien

5. Pola aktivitas sebelum dan di rumah sakit Meliputi pola nutrisi, pola eliminasi, personal hygiene, pola aktivitas sehari – hari dan pola aktivitas tidur.

6. Pengkajian fisik Dilakukan secara inspeksi, palpasi, auskultasi, dan perkusi, yaitu :

a. Inspeksi Perut distensi, dapat ditemukan kontur dan steifung. Benjolan pada regio inguinal, femoral dan skrotum menunjukkan suatu hernia inkarserata. Pada Intussusepsi dapat terlihat massa abdomen berbentuk sosis. Adanya adhesi dapat dicurigai bila ada bekas luka operasi sebelumnya. Kadang teraba massa seperti pada tumor, invaginasi, hernia, rectal toucher.

Selain itu, dapat juga melakukan pemeriksaan inspeksi pada :

1) Sistem Penglihatan Posisi mata simetris atau asimetris, kelopak mata normal atau tidak, pergerakan bola mata normal atau tidak, konjungtiva anemis atau tidak, kornea normal atau tidak, sklera ikterik atau anikterik, pupil isokor atau anisokor, reaksi terhadap otot cahaya baik atau tidak.

2) Sistem Pendengaran Daun telinga, serumen, cairan dalam telinga

3) Sistem Pernafasan Kedalaman pernafasan dalam atau dangkal, ada atau tidak batuk dan pernafasan sesak atau tidak.

4) Sistem Hematologi Ada atau tidak perdarahan, warna kulit

5) Sistem Saraf Pusat Tingkat kesadaran, ada atau tidak peningkatan tekanan intrakranial

6) Sistem Pencernaan Keadaan mulut, gigi, stomatitis, lidah bersih, saliva, warna dan konsistensi feces.

7) Sistem Urogenital Warna BAK

8) Sistem Integumen Turgor kulit, ptechiae, warna kulit, keadaan kulit, keadaan rambut.


b Palpasi

1) Sistem Pcncernaan Abdomen, hepar, nyeri tekan di daerah epigastrium

2) Sistem Kardiovaskuler Pengisian kapiler

3) Sistem Integumen Ptechiae

c Auskultasi

d Hiperperistaltik, bising usus bernada tinggi, borborhygmi. Pada fase lanjut bising usus dan peristaltik melemah sampai hilang.

e Perkusi

Hipertimpani


7. Pemeriksaan Diagnostik
a. Radiologi Foto polos berisikan peleburan udara halus atau usus besar dengan gambaran anak tangga dan air – fluid level. Penggunaan kontras dikontraindikasikan adanya perforasi – peritonitis. Barium enema diindikasikan untuk invaginasi.
b. Endoscopy, disarankan pada kecurigaan volvulus.


F. Diagnosa Keperawatan Adapun diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan Ileus Paralitik menurut Harnawati, A. J, 2008 adalah sebagai berikut :
1. Gangguan rasa nyaman nyeri epigastrium berhubungan dengan proses patologis penyakitnya. 2. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah dan anoreksia.
3. Potensial terjadi syok hipovolemik berhubungan dengan kurangnya volume cairan tubuh.
4. Gangguan pola eliminasi berhubungan dengan konstipasi.
5. Gangguan pola tidur berhubungan dengan sakit kepala dan pegal - pegal seluruh tubuh.
6. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, diet, dan perawatan pasien ileus paralitik berhubungan dengan kurangnya informasi.
7. Kecemasan ringan – sedang berhubungan dengan kondisi pasien yang memburuk dan perdarahan yang dialami pasien


G. Perencanaan Keperawatan

1. Gangguan rasa nyaman nyeri epigastrium berhubungan dengan proses patologis penyakitnya Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan rasa nyaman nyeri terpenuhi
Kriteria hasil : Nyeri hilang / berkurang
Rencana tindakan :
a. Kaji tingkat nyeri
Rasional : Untuk mengetahui seberapa berat rasa nyeri yang dirasakan dan mengetahui pemberian terapi sesuai indikasi.
b. Berikan posisi senyaman mungkin
Rasional : Untuk mengurangi rasa nyeri dan memberikan kenyamanan.
c. Berikan lingkungan yang nyaman
Rasional : Untuk mendukung tindakan yang telah diberikan guna mengurangi rasa nyeri.
d. Kolaborasi dalam pemberian terapi analgetik sesuai indikasi ( Profenid 3 x 1 supp ).
Rasional : Untuk mengurangi rasa nyeri


2. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah dan anoreksia
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan gangguan nutrisi terpenuhi
Kriteria hasil : Mual, muntah hilang, nafsu makan bertambah, makan habis satu porsi
Rencana tindakan :
a. Kaji keluhan mual, sakit menelan dan muntah
Rasional : Untuk menilai keluhan yang ada yang dapat menggangu pemenuhan kebutuhan nutrisi.
b. Kolaborasi pemberian obat anti emetik (Antacid )
Rasional : Membantu mengurangi rasa mual dan muntah.


3. Potensial terjadi syok hipovolemik berhubungan dengan kurangnya volume cairan tubuh Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan syok hipovolemik tidak terjadi
Kriteria hasil : Tanda – tanda vital dalam batas normal, volume cairan tubuh seimbang, intake cairan terpenuhi.
Rencana tindakan :
a. Monitor keadaan umum
Rasional : Menetapkan data dasar pasien untuk mengetahui penyimpangan dari keadaan normalnya.
b. Observasi tanda – tanda vital
Rasional : Merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien.
c. Kaji intake dan output cairan
Rasional : Untuk mengetahui keseimbangan cairan
d. Kolaborasi dalam pemberian cairan intravena
Rasional : Untuk memenuhi keseimbangan cairan


4. Gangguan pola eliminasi berhubungan dengan konstipasi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan gangguan pola eliminasi tidak terjadi
Kriteria hasil : Pola eliminasi BAB normal
Rencana tindakan :
a. Kaji dan catat frekuensi, warna dan konsistensi feces
Rasional : Untuk mengetahui ada atau tidaknya kelainan yang terjadi pada eliminasi fekal.
b. Auskultasi bising usus
Rasional : Untuk mengetahui normal atau tidaknya pergerakan usus.
c. Anjurkan klien untuk minum banyak
Rasional : Untuk merangsang pengeluaran feces.
d. Kolaborasi dalam pemberian terapi pencahar (Laxatif)
Rasional : Untuk memberi kemudahan dalam pemenuhan kebutuhan eliminasi


5. Gangguan pola tidur berhubungan dengan sakit kepala dan pegal - pegal seluruh tubuh Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan gangguan pola tidur teratasi
Kriteria hasil : Pola tidur terpenuhi
Rencana tindakan :
a. Kaji pola tidur atau istirahat normal pasien
Rasional : Untuk mengetahui pola tidur yang normal pada pasien dan dapat menentukan kelainan pada pola tidur.
b. Beri lingkungan yang nyaman
Rasional : Untuk mendukung pemenuhan kebutuhan aktivitas dan tidur.
c. Batasi pengunjung selama periode istirahat
Rasional : Untuk menjaga kualitas dan kuantitas tidur pasien
d. Pertahankan tempat tidur yang hangat, bersih dan nyaman
Rasional : Supaya pasien dapat tidur dengan nyaman
e. Kolaborasi pemberian terapi analgetika
Rasional : Agar nengurangi rasa nyeri yang menggangu pola tidur pasien



6. Kecemasan ringan – sedang berhubungan dengan kondisi pasien yang memburuk dan perdarahan yang dialami pasien
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan kecemasan tidak terjadi
Kriteria hasil : Kecemasan berkurang
Rencana tindakan :
a. Kaji rasa cemas klien
Rasional : Untuk mengetahui tingkat kecemasan pasien
b. Bina hubungan saling percaya dengan klien dan keluarga
Rasional : Untuk terbinanya hubungan saling pecaya antara perawat dan pasien.
c. Berikan penjelasan tentang setiap prosedur yang dilakukan terhadap klien
Rasional : Agar pasien mengetahui tujuan dari tindakan yang dilakukan pada dirinya.



7. Kurang pengetahuan tentang proses penyakitnya berhubungan dengan kurangnya informasi. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3×24 jam diharapkan pengetahuan pasien meningkat.
Kriteria Hasil : Tingkat pengetahuan pasien meningkat
Rencana Tindakan :
a. Jelaskan pada pasien tentang penyakitnya
Rasional : Pasien dapat mengetahui mengenai penyakitnya dan mendapatkan informasi yang akurat.
b. Berikan waktu untuk mendengarkan emosi dan perasaan pasien
Rasional : Agar pasien dapat mengungkapkan perasaannya kepada perawat
c. Beri penyuluhan mengenai penyakitnya
Rasional : Untuk meningkatkan pengetahuan pasien mengenai penyakitnya.



H. Pelaksanaan Keperawatan
Pelaksanaan keperawatan adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Drs. Nasrul Effendi, 1999). Ada tiga fase dalam tindakan keperawatan, yaitu : 1. Fase Persiapan Meliputi pengetahuan tentang rencana, validasi rencana, pengetahuan dan keterampilan menginterpretasikan rencana, persiapan klien dan lingkungan. 2. Fase Intervensi Merupakan puncak dari implementasi yang berorientasi pada tujuan dan fokus pada pengumpulan data yang berhubungan dengan reaksi klien termasuk reaksi fisik, psikologis, sosial dan spiritual. Tindakan keperawatan dibedakan berdasarkan kewenangan dan tanggung jawab secara professional, yaitu : a. Secara Mandiri ( Independen ) Adalah tindakan yang diprakarsai sendiri oleh perawat untuk membantu pasien dalam mengatasi masalahnya atau menanggapi reaksi karena adanya stressor ( penyakit ), misalnya : 1) Membantu klien dalam melakukan kegiatan sehari – hari 2) Melakukan perawatan kulit untuk mencegah dekubitus 3) Memberikan dorongan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya secara wajar. 4) Menciptakan lingkungan terapeutik b. Saling ketergantungan / kolaborasi ( Interdependen ) Adalah tindakan keperawatan atas dasar kerja sama sesama tim perawatan atau kesehatan lainnya seperti dokter, fisiotherapy, analisis kesehatan, dsb. c. Rujukan / Ketergantungan Adalah tindakan keperawatan atas dasar rujukan dari profesi lain diantaranya dokter, psikologis, psikiater, ahli gizi, fisiotherapi, dsb. Pada penatalaksanaanya tindakan keperawatan dilakukan secara : 1) Langsung : Ditangani sendiri oleh perawat 2) Delegasi : Diserahkan kepada orang lain / perawat lain yang dapat dipercaya 3. Fase Dokumentasi Merupakan terminasi antara perawat dan klien. Setelah implementasi dilakukan dokumentasi terhadap implementasi yang dilakukan.



I. Evaluasi Keperawatan
Adalah mengukur keberhasilan dari rencana dan pelaksanaan tindakan keperawatan yang dilakukan dalam memenuhi kebutuhan klien.
Teknik penilaian yang didapat dari beberapa cara, yaitu :
1. Wawancara : Dilakukan pada klien dan keluarga
2. Pengamatan : Pengamatan klien terhadap sikap, pelaksanaan, hasil yang dicapai dan perubahan tingkah laku klien.

Jenis evaluasi ada dua macam, yaitu :
a. Evaluasi Formatif Evaluasi yang dilakukan pada saat memberikan intervensi dengan respon segera.
b. Evaluasi Sumatif Merupakan rekapitulasi dari hasil observasi dan analisis status pasien p pada saat tertentu berdasarkan tujuan rekapitulasi dari hasil yang direncanakan pada tahap perencanaan. Ada tiga alternatif yang dapat dipergunakan oleh perawat dalam memutuskan / menilai :
1) Tujuan tercapai : Jika klien menunjukkan perubahan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
2) Tujuan tercapai sebagian : Jika klien menunjukkan perubahan sebagian dari standar dan kriteria yang telah ditetapkan.
3) Tujuan tidak tercapai : Jika klien tidak menunjukkan perubahan dan kemajuan sama sekali dan akan timbul masalah baru.

askep gagal ginjal

gagal ginjal


Pengertian gagal ginjal akut berkisar dari peningkatan konsentrasi serum kreatinin yang berat (misalnya, yang membutuhkan dialysis) sampai yang ringan (misalnya pada 44.2 mikromol/L). Pada defenisi yang lebih luas, gagal ginjal akut sering didefenisikan sebagai kerusakan yang signifikan pada fungsi ginjal yang terjadi lebih dari beberapa jam atau beberapa hari. GGA kemungkinan tidak memberikan gejala atau tanda, tetapi oliguria (volume urine kurang dari 400 mL/24 jam) sering terjadi. Terdapat akumulasi cairan dan produk buangan nitrogenous yang terlihat dari kenaikan ureum darah dan kreatinin. GGA dapat terjadi dari :

• Miskinnya perfusi pada ginjal (prerenal)

• Penyakit intrinsik ginjal

• Obstruksi traktus urinarius (postrenal)

Penyebab Gagal Ginjal Akut

• Prerenal

o Berkurangnya volume (misalnya muntah atau diare berat, terbakar, diuretik yang tidak tepat)

o Hipotensi (misalnya trauma, perdarahan gastrointestinal)

o Kardiovaskular ( misalnya gagal jantung yang berat, aritmia)

o Obat-obatan yang mempengaruhi perfusi ginjal (misalnya NSAIDs, kontras media, siklosporin, ACE inhibitor)

o Sindrom hepatorenal

• GGA intrinsik

o Nekrosis tubular akut yang diikuti dengan iskemia yang lama

o Nefrotoksin (misalnya aminoglikosida, mioglobin, cisplatin, logam-logam berat, light chain pada myeloma ginjal)

o Nefritis interstitial akut akibat obat, infeksi atau penyakit autoimun.

o Kerusakan glomerular (misalnya glomerulonefritis cresent, vaskulitis, sindrom urea hemolitik)

o Kerusakan vaskular (misalnya oklusi arteri ginjal, trombosis vena renal, emboli kolesterol, krisis skleroderma ginjal, hipertensi maligna)

• Post renal

o Obstruksi ureter (misalnya kalkuli ginjal, tumor, bekuan darah, fibrosis retroperitoneal)

o Obstruksi kandung kemih (misalnya hipertrofi prostate, karsinoma kandung kemih)

Epidemiologi

• Gagal ginjal akut lebih sering terjadi tetapi insidennya tergantung dari defenisi yang digunakan dan dalam penelitian populasi. Dalam suatu penelitian di Amerika, terdapat 172 kasus gagal ginjal akut berat (konsentrasi serum kreatinin lebih dari 500 mikromol/L) dalam per juta orang dewasa setiap tahun, dengan 22 kasus per juta yang mendapat dialysis akut.

• GGA lebih sering terjadi pada umur tua

• GGA prerenal dan nekrosis tubular akut iskemik terjadi bersamaan sekitar 75% pada kasus GGA

Faktor Resiko

Orang dengan kondisi riwayat penyakit mempunyai resiko yang tinggi berkembangnya GGA seperti:

• Hipertensi

• Gagal jantung kongestif

• Diabetes

• Mieloma

• Infeksi kronik

• Gangguan mieloproliperatif

Gambaran Klinis

Gambaran klinis tergantung dari sebab yang mendasari dan tingkat keparahan gagal ginjal akut. Indikasi pertama kemungkinan tingginya ureum dan kreatinin dalam pemeriksaan darah pasien dengan gejala-gejala dan tanda non spesifik.

Gejala

• Produksi urine

o Anuria yang tiba-tiba menunjukkan adanya obstruksi akut, glomerulonefritis akut dan berat, atau oklusi arteri ginjal akut.

o Output urine yang berkurang secara bertahap kemungkinan mengindikasikan terjadinya striktur uretra atau obstruksi kandung kemih, misalnya hyperplasia prostat benigna.

• Mual, muntah

• Dehidrasi

• Pusing

Tanda

• Hipertensi

• Abdomen: tampak membesar, kandung kemih tidak nyeri pada retensi urine kronik

• Dehidrasi dengan hipotensi postural dan tidak ada udem

• Kelebihan cairan dengan peningkatan JVP, udem paru, dan udem perifer

• Pucat, bercak, memar: peteki, purpura, dan hidung berdarah menunjukkan adanya inflamasi atau penyakit vaskular, emboli atau disseminated intravascular coagulation.

• Pericardial rub

Diagnosis Banding

• Gagal ginjal kronik:

o Anemia, penurunan kalsium dan peningkatan posfat dapat terjadi dalam beberapa hari dan tampilan tersebut tidak diperlukan dalam membantu membedakan GGA dengan GGK, tetapi adanya hal tersebut menujukkan GGA.

o Membuat perbedaan antara gagal ginjal akut dan gagal ginjal kronik sangatlah sulit. Riwayat gejala-gejala kelelahan yang kronik, berat badan menurun, anoreksia, nokturia, dan pruritus menunjukkan gagal ginjal kronik. Tes darah yang abnormal sebelumnya dapat juga menunjukkan gagal ginjal akut.

o Renal ultrasound: pada gagal ginjal akut dan kronik, keabnormalan ginjal, seperti ginjal berukuran kecil pada glomerulonefritis kronik atau kistik ginjal yang besar pada penyakit ginjal polikistik orang dewasa, hampir selalu ada.

• Gagal ginjal kronik yang akut

Pemeriksaan

• Penilaian fungsi ginjal

o Serum ureum merupakan tanda pada fungsi ginjal. Sebab sangat bervariasi secara signifikan dengan hidrasi, tidak diproduksi dengan konstan dan direabsorbsi oleh ginjal.

o Serum kreatinin juga mempunya batas yang signifikan. Levelnya dapat dalam batas normal kecuali kehilangan fungsi ginjal lebih dari 50%.

o Standar penilaian yang terbaik adalah penilaian GFR, tetapi biayanya mahal tidak semuanya tersedia.

o GFR menggunakan 4 variasi persamaan dari Modification of Diet Renal Disease (MDRD):

§ GFR (ml/min/1.73 m2) = 186 x [(Serum kreatinin mikromol/l/88.4) -1.154 ] x [age(year) -0.203] x 0.742 jika wanita, dan x 1.21 jika orang Afrika Amerika.

§ Tabel perkiraan dapat digunakan untuk menilai GFR dari serum kreatinin, umur, jenis kelamin dan etnis atau dengan menggunakan kalkulator GFR online berdasarkan persamaan ini.

• Urinalisis dan mikroskopi

o Sel-sel tubular menunjukkan adanya nekrosis tubular akut

o Glomerulonefritis: ditunjukkan dengan urine berwarna coklat dengan hemoglobin dan mioglobin. Biasanya menyebabkan gambaran nefritik, dengan sel-sel darah merah yang dimorfik, sel-sel darah putih dan sel darah merah tambahan.

o Proteinuri dapat juga menunjukkan nefritis interstitial akut, nekrosis tubular, penyakit vaskular.

• Osmolaritas urine

o Osmolaritas urine lebih dari 500 mOsm/kg jika sebabnya adalah prerenal dan 300 mOsm/kg atau kurang jika sebabnya renal.

o Pasien dengan nekrosis tubular akut kehilangan kemampuan dalam mengkonsentrasikan dan mencairkan urine, dan akan memberikan volume yang konstan dengan osmolaritas tidak tepat.

• Elektrolit urinary

o Dapat memberikan indikasi aktivitas tubulus renal. Pada kegagalan pre-renal, sodium urine cenderung di bawah 20 mmol/L (cenderung di atas 40 mmol/L pada nekrosis tubular akut), osmolaritas urin cenderung di atas 500 mosm/L (cenderung di bawah 350 pada ATN), urine/plasma urea cenderung di atas 8 (di bawah 3 pada ATN) dam urine/plasma kreatinin cenderung di atas 40 (di bawah 20 pada ATN).

o Fractional Excretion of Sodium (FENa):

§ Formulanya adalah (Na urine/Na plasma) / (Kreatinin urine/kreatinin plasma) x 100

§ Hal ini dapat meleset jika digunakan diuretik atau jika tidak ada oliguria

§ Nilainya biasanya dibawah 1% jika sebabnya adalah prerenal dan lebih dari 2 % jika sebabnya renal.

§ Walaupun nefropati disebabkan oleh medium kontras radiologis dan luka bakar yang berat, nilai Fractional Excretion of Sodium biasanya di bawah 1 %.

• Pemeriksaan darah

o Darah lengkap dan darah tepi: dapat menunjukkan gambaran anemia hemolitik atau trombositopeni.

o Ureum darah, elektrolit dan kreatinin.

o Tes fungsi hati: abnormal pada sindrom hepatorenal

o Serum amylase

o Kultur darah

o Imunologi: tes autoantibody untuk SLE termasuk antinuclear antibody, antineutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA), anti-glomerular basement membrane; antistreptolycin O titre (ASOT)

o Serum dan urine elekteroporesis

• EKG

o Infark miokard

o Gelombang T pada hiperkalemia

• Renal ultrasound: penelitian yang cepat dan non-invasif yang dapat membantu mendeteksi obstruksi, Sinar X: Foto thorax (udem paru); foto abdomen jika dicurigai adanya kalkuli renal. Pemeriksaaan kontras seperti IVU dan angiografi ginjal semestinya dihindari karena resiko terjadi nefropati kontras.

• Ultrasound Doppler pada arteri dan vena renal: untuk menilai kemungkinan sumbatan pada arteri dan vena renal.

• Magnetic resonance angiography: untuk menilai lebih akurat pada sumbatan vaskular ginjal.

• Biopsi ginjal.

Penanganan

Sejumlah daftar NSF merupakan petunjuk untuk penatalaksanaan yang baik Dengan harapan gagal ginjal akut tersebut cepat diidentifikasi dengan pengobatan yang tepat dan cepat.

• Kontrol yang akurat pada keseimbangan cairan ( hindari volume yang berlebihan atau kurang)

o Penilaian yang akurat pada output urine penting untuk mencegah volume berlebih atau kurang

o Kebanyakan pasien adalah oliguri dan secara umum diberikan volume cairan yang sama dengan output hari sebelumnya, tambahan ekstra paling sedikit 500 ml jika ada demam.

o Situasinya dapat berubah dengan cepat dan oleh karena itu penilaian klinik dilakukan setiap hari, dibutuhkan pengukuran berat badan dan monitor CVP.

o Diuretik tidak merubah pengeluaran urin pada GGA tetapi diuretik dosis tinggi dapat merubah GGA Oliguri menjadi GGA tanpa Oliguri, yang bermanfaat jika dialysis tidak tersedia. Dosis furosemid dapat dipakai 100 mg per hari. Dalam hal ini angka kematian meningkat pada orang yang menerima diuretik tetapi hal ini mencerminkan tingkat keparahan penyakit dibandingkan efek sampingnya. Penggunaan diuretik membutuhkan evaluasi yang lebih lanjut.

o Udem paru: dibutuhkan oksigen konsentrasi tinggi, morfin IV, furosemid (250 mg) dosis tinggi diberikan lebih dari 1 jam. Dapat juga dilakukan hemodialisis atau hemofiltrasi, ventilasi tekanan positif jalan nafas dan venaseksi (100-200 mL) jika pasien dalam keadaan ekstremis.

o Jika terdapat hipotensi, noradrenalin dan vasopressin dapat digunakan

o Tidak ada kejadian untuk penggunaan infuse dopamine dosis rendah.

• Pengukuran setiap hari serum elektrolit, pembatasan penggunaan potassium dan sodium, pemberian nutrisi.

o Pembatasan potassium sekarang ini selalu dibutuhkan dan terbatas kurang dari 50 mmol/hari

o Hiperkalemia akut dapat ditangani dengan infus dextrose/insulin dan kalsium glukonas.

o Dalam jangka waktu yang lama, ikatan potassium dapat digunakan jika dialysis tidak tersedia dengan cepat.

o Pemberian sodium seharusnya terbatas pada 80 mmol/hari, tergantung dari banyaknya kehilangan cairan.

o Asidosis dapat diatasi dengan pembatasan protein, oleh karena itu pemberian protein perhari paling sedikit 1 g protein kualitas tinggi per kilo gram berat badan yang diperlukan untuk pemeliharan nutrisi yang adekuat.

o Penting untuk memelihara nutrisi yang adekuat, lebih baik melalui rute enteral, tetapi dengan parenteral nutrisi jika diperlukan.

o Ekskresi posfat terganggu pada gagal ginjal oleh karena itu pembatasan diet sangat diperlukan. Gagal ginjal dengan poliuri diberikan suplemen intra vena cairan, potassium, dan posfat.

o Keseimbangan nitrogen dapat menjadi kompleks, khususnya hiperkatabolik dan kemungkinan perdarahan gastrointestinal, dan diare.

o Sodium bikarbonat dapat digunakan untuk menangani asidosis, tetapi dapat menjadi lebih buruk jika sodium berlebihan.

• Pencegahan infeksi

o Pasien gagal ginjal mudah terkena infeksi.

o Sepsis penyebab 30% sampai 70 % kematian pada pasien dengan nekrosis tubular akut. Oleh karena itu pemantauan sepsis sangat penting, hindari infus intravena, kateter kandung kemih, respirator dianjurkan.

• Gangguan haemostasis: perdarahan aktif membutuhkan:

o Fresh frozen plasma dan platelet

o Transfusi darah

o Desmopressin intravena: peningkatan aktivitas pembekuan faktor VII. Pada gagal ginjal akut terdapat pemendekan waktu perdarahan. Dosis ulangan memberikan efek yang lebih sedikit.

• Pencegahan perdarahan gastrointestinal

o Perdarahan gastrointestinal berpotensial menyebabkan kematian pada GGA, penanganan profilaksis untuk mengurangi sekresi asam yang pada umumnya diindikasikan.

• Perhatikan dosis obat dan hindari obat-obat nefrotoksik.

o Dosis harus diatur dan dipantau sesuai dengan level obat.

o Obat nefrotoksik seperti NSAIDs dan aminoglikosida, semestinya dihindari.

• Penanganan spesifik yang tepat berdasarkan penyakit intrinsik ginjal

o Trombosis akut arteri renal (pada fungsi satu ginjal) dapat ditangani dengan pembedahan atau dengan angioplasty dan stenting.

o Peritoneal dialysis biasanya digunakan jika hemodialisis tidak tersedia.

o Pada pasien yang secara hemidinamik tidak stabil, tekhnik dialysis yang berkesinambungan (misalnya hemodiafiltrasi) lebih baik daripada hemodialisis intemitten dan lebih efektif dikontrol keseimbangan cairannya.

o Indikasi dialysis pada gagal ginjal akut

§ Adanya gambaran klinik uremia (misalnya perikarditis gastritis, hipotermia, serangan yang tiba-tiba atau encephalopathy)

§ Retensi cairan yang berakibat udem paru: ketidakmampuan untuk menurunkan volume yang berlebih dengan diuretik dengan volume urine dibawah 200 mL dalam 12 jam.

§ Hiperkalemia berat (potassium di atas 6.5 mmol/L atau di bawah 120 mmol/L)

§ Gangguan asam basa yang berat (pH dibawah 7.0) yang tidak dapat dikontrol dengan sodium bikarbonat.

§ Gagal ginjal yang berat ( urea lebih dari 30 mmol/L, kreatinin lebih dari 500 mikromol/L)

§ Keracunan obat yang dapat didialisis.

Prognosis

• Prognosisnya lebih dekat dikaitkan dengan penyebab yang mendasari. Pada gagal ginjal prerenal, koreksi penurunan volume, memonitor tekanan vena sentral ketika diperlukan, yang semestinya menghasilkan perbaikan yang segera pada fungsi ginjal. Namun, pertama kali ATN berkembang, dan pada kasus GGA yang lain, pasien sering mengalami oliguri untuk beberapa hari atau minggu.

• Jika tidak ada hal yang signifikan pada fungsi ginjal dalam 6 sampai 8 minggu, hal ini berarti stadium akhir dari gagal ginjal tetapi pemulihan jarang terlihat.

• Kelangsungan hidup GGA tergantung penyebab, dan angka kematian tinggi (40-80%) pada pasien dengan gagal organ multiple. Kematian memungkinkan jika GGA dikaitkan dengan kegagalan lebih dari tiga sistem organ.

• Dalam suatu komunitas angka kematian pasien GGA lebih rendah (10-30%)

• Prognosis meningkat dengan penanganan yang cepat dan agresif. Hal ini termasuk koreksi penyebab prerenal seperti hipovolemia atau pemasangan stent melalui bypass obstruksi pada penyebab post renal.

• Pasien yang membutuhkan dialysis mempunyai angka kematian yang tinggi tetapi hal ini mencerminkan suatu kondisi yang lebih baik dari hasil pengobatan.

• Pemulihan dari glomerulonefritis dapat bervariasi. Pasien biasanya pulih jika ditangani dengan segera, tetapi kemungkinan ketergantungan dialysis jika ditangani terlambat atau tidak adekuat.

• Dengan perawatan yang intensif, angka kematian bervariasi dari 7.5% sampai 40% dan diluar perawatan intensif dari 0 sampai 17%.

• Sistem penilaian The Acute Physiology and Chronic Health Evaluation II (APACHE II) menunjukkan suatu prognosis. Pada skor antara 10 sampai 19 angka kematiannya 60% tetapi skor di atas 40, angka kematiannya mendekati 100%.

• Sistem lain yang membantu mengindikasikan prognosis dan untuk membantu mengklasifikasikan untuk tujuan penelitian disebut RIFLE dan telah dikembangkan oleh The Acute Dialysis Quality Initiative Workgroup. 3 item pertama yaitu resiko, kerusakan dan kegagalan ginjal. Dua yang terakhir adalah hasil akhir atau kehilangan dan stadium akhir gagal ginjal.

• Indikator prognosis jelek terdiri dari umur tua, gagal organ multiple, oliguria, hipotensi, sejumlah transfusi dan gagal ginjal kronik yang akut.

Sabtu, 19 Juli 2008

Askep Fraktur



ASUHAN KEPERAWATAN dengan FRAKTUR VERTEBRA (LUMBAL)



A.
Pengertian

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai dengan jenis dan luasnya. Faktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan putir, mendadak bahkan kontraksi otot ekstrem. Meskipun tulang patah, jaringan sekitarnya juga akan terpengaruh, mengakibatkan edema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi, rupture tendo, kerusakan saraf dan kerusakan pembuluh darah. (Brunner and Suddarth, 2001).

Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang. Gejala – gejala fraktur tergantung pada sisi, beratnya dan jumlah kerusakan pada struktur lain, biasanya terjadi pada orang dewasa laki-laki yang disebabkan oleh kecelakaan, jatuh, dan perilaku kekerasan. (Marilyn, E. Doengoes, 1999).

Fraktur adalah deformasi atau dekontinuitas dari tulang oleh tenaga yang melebihi kekuatan tulang. (http://www.medicastore.com/med/detail=patah;tulang/).

Dari ketiga pengertian diatas penulis menyimpulkan fraktur lumbal adalah kerusakan pada tulang belakang berakibat trauma, biasanya terjadi pada orang dewasa laki-laki yang disebabkan oleh kecelakaan, jatuh, dan perilaku kekerasan.


B. Etiologi

Adapun penyebab dari fraktur menurut Brunner and Suddart, 2001 adalah sebagai berikut :

  1. Trauma langsung merupakan utama yang sering menyebabkan fraktur. Fraktur tersebut terjadi pada saat benturan dengan benda keras.
  2. Putaran dengan kekuatan yang berlebihan (hiperfleksi) pada tulang akan dapat mengakibatkan dislokasi atau fraktur.
  3. Kompresi atau tekanan pada tulang belakang akibat jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas dan sebagainya.
  4. Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi patologis yang menimbulkan penyakit tulang atau melemahnya tulang.
  5. Postur Tubuh (obesitas atau kegemukan) dan “Body Mekanik” yang salah seperti mengangkat benda berat.

C. Patofisiologi

1. Perjalanan Penyakit

Kolumna vertebralis tersusun atas seperangkat sendi antara korpus vertebra yang saling berdekatan. Diantaranya korpus vertebra mulai dari vertebra sevikalis kedua sampai vertebra sakralis terdapat discus intervertebralis. Discus-discus ini membentuk sendi fibrokartilago yang lentur antara korpus pulposus ditengah dan annulus fibrosus di sekelilingnya. Nucleus pulposus merupakan rongga intervertebralis yang terdiri dari lapisan tulang rawan dalam sifatnya semigelatin, mengandung berkas-berkas serabut kolagen, sel – sel jaringan penyambung dan sel-sel tulang rawan.

Zat-zat ini berfungsi sebagai peredam benturan antara korpus vertebra yang berdekatan, selain itu juga memainkan peranan penting dalam pertukaran cairan antara discus dan pembuluh-pembuluh kapiler.

Apabila kontuinitas tulang terputus, hal tersebut akan mempengaruhi berbagai bagian struktur yang ada disekelilingnya seperti otot dan pembuluh darah. Akibat yang terjadi sangat tergantung pada berat ringannya fraktur, tipe, dan luas fraktur. Pada umumnya terjadi edema pada jaringan lunak, terjadi perdarahan pada otot dan persendian, ada dislokasi atau pergeseran tulang, ruptur tendon, putus persyarafan, kerusakan pembuluh darah dan perubahan bentuk tulang dan deformitas. Bila terjadi patah tulang, maka sel – sel tulang mati. Perdarahan biasanya terjadi disekitar tempat patah dan kedalaman jaringan lunak disekitar tulang tersebut dan biasanya juga mengalami kerusakan. Reaksi peradangan hebat timbul setelah fraktur.

2. Manifestasi Klinik

Manifestasi klinik fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekkan deformitas, krepitus, pembengkakan lokal dan perubahan warna.

a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilasi. Spasme otot yang menyertai fraktur yang merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.

b. Setelah terjadi fraktur, bagian – bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara tidak alamiah. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas yang bisa diketahui dengan ekstermitas normal.

c. Terjadi pemendekan tulang karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur.

d. Saat ekstermitas diperiksa teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang lainnya.

e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit yang terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.

3. Proses Penyembuhan Tulang

a. Tahap Hematoma, Pada tahap terjadi fraktur, terjadi kerusakan pada kanalis Havers sehingga masuk ke area fraktur setelah 24 jam terbenutk bekuan darah dan fibrin yang masuk ke area fraktur, terbenuklah hematoma kemudian berkembang menjadi jaringan granulasi.

b. Tahap Poliferasi, Pada aerea fraktur periosteum, endosteum dan sumsum mensuplai sel yang berubah menjadi fibrin kartilago, kartilago hialin dan jaringan panjang.

c. Tahap Formiasi Kalus atau Prakalus, Jaringan granulasi berubah menjadi prakalus. Prakalus mencapai ukuran maksimal pada 14 sampai 21 hari setelah injuri.

d. Tahap Osifikasi kalus, Pemberian osifikasi kalus eksternal (antara periosteum dan korteks), kalus internal (medulla) dan kalus intermediet pada minggu ke-3 sampai dengan minggu ke-10 kalus menutupi lubang.

e. Tahap consolidasi, Dengan aktivitas osteoblasi dan osteoklas, kalus mengalami proses tulang sesuai dengan hasilnya.

Faktor – faktor yang mempengaruhi proses pemulihan :

a. Usia klien

b. Immobilisasi

c. Tipe fraktur dan area fraktur

d. Tipe tulang yang fraktur, tulang spongiosa lebih cepat sembuh dibandingkan dengan tulang kompak.

e. Keadaan gizi klien

f. Asupan darah dan hormon – hormon pertumbuhan yang memadai

g. Latihan pembebanan berat badan untuk tulang panjang

h. Komplikasi atau tidak misalnya infeksi biasa menyebabkan penyembuhan lebih lama.

i. Keganasan lokal, penyakit tulang metabolik dan kortikosteroid.

4. Komplikasi

a. Syok

Syok hipovolemik akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar akibat trauma.

b. Mal union, gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang jelek menyebabkan mal union, sebab-sebab lainnya adalah infeksi dari jaringan lunak yang terjepit diantara fragmen tulang, akhirnya ujung patahan dapat saling beradaptasi dan membentuk sendi palsu dengan sedikit gerakan (non union).

c. Non union

Non union adalah jika tulang tidak menyambung dalam waktu 20 minggu. Hal ini diakibatkan oleh reduksi yang kurang memadai.

d. Delayed union

Delayed union adalah penyembuhan fraktur yang terus berlangsung dalam waktu lama dari proses penyembuhan fraktur.

e. Tromboemboli, infeksi, kaogulopati intravaskuler diseminata (KID).

Infeksi terjadi karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur terbuka atau pada saat pembedahan dan mungkin pula disebabkan oleh pemasangan alat seperti plate, paku pada fraktur.

f. Emboli lemak

Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit dan membentuk emboli yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil, yang memsaok ke otak, paru, ginjal, dan organ lain.

g. Sindrom Kompartemen

Masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Berakibat kehilangan fungsi ekstermitas permanen jika tidak ditangani segera.

h. Cedera vascular dan kerusakan syaraf yang dapat menimbulkan iskemia, dan gangguan syaraf. Keadaan ini diakibatkan oleh adanya injuri atau keadaan penekanan syaraf karena pemasangan gips, balutan atau pemasangan traksi.

C. Jenis Fraktur

Adapun klasifikasi menurut Brunner and Suddarth, 2001 adalah sebagai berikut :

1. Berdasarkan garis patah yang terdapat pada tulang, fraktur dibedakan menjadi dua, yaitu:

a. Fraktur komplet adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran.

b. Fraktur tidak komplet adalah patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang.

2. Berdasarkan robekan yang terdapat pada kulit, fraktur dibedakan menjadi dua, yaitu :

a. Fraktur tertutup (fraktur simple) adalah fraktur yang tidak menyebabkan robeknya kulit.

b. Fraktur terbuka (fraktur komplikata/ kompleks) adalah fraktur dengan luka pada kulit atau membran mukosa sampai patahan tulang.

3. Berdasarkan sesuai pergeseran anatomis fragmen tulang dibedakan menjadi tulang bergeser dan fraktur tidak bergeser.

4. Berbagai jenis khusus fraktur adalah sebagai berikut :

a. Greenstick adalah fraktur di mana salah satu sisi tulang patah sedang sisi lainnya membengkok.

b. Transversal adalah fraktur sepanjang garis tengah tulang.

c. Oblik adalah fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang.

d. Spiral adalah fraktur memuntir seputar batang tulang.

e. Kominutif adalah fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen.

f. Depresi adalah fraktur dengan fragmen patahan terdorong ke dalam.

g. Kompresi adalah fraktur di mana tulang mengalami kompresi.

h. Patologik adalah fraktur yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit.

i. Avulsi adalah tertariknya fragmen tulang oleh ligament atau tendo pada perlekatannya.


D. Penatalaksanaan Medis

1. Pengobatan dan Terapi Medis

a. Pemberian anti obat antiinflamasi seperti ibuprofen atau prednisone

b. Obat-obatan narkose mungkin diperlukan setelah fase akut

c. Obat-obat relaksan untuk mengatasi spasme otot

d. Bedrest, Fisioterapi

2. Konservatif

Pembedahan dapat mempermudah perawatan dan fisioterapi agar mobilisasi dapat berlangsung lebih cepat. Pembedahan yang sering dilakukan seperti disektomi dengan peleburan yang digunakan untuk menyatukan prosessus spinosus vertebra; tujuan peleburan spinal adalah untuk menjembatani discus detektif, menstabilkan tulang belakang dan mengurangi angka kekambuhan. Laminectomy mengangkat lamina untuk memanjakan elemen neural pada kanalis spinalis, menghilangkan kompresi medulla dan radiks. Microdiskectomy atau percutaeneus diskectomy untuk menggambarkan penggunaan operasi dengan mikroskop, melihat potongan yang mengganggu dan menekan akar syaraf.


E. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Fraktur

1. Pengkajian Keperawatan

Merupakan tahap awal dari pendekatan proses keperawatan dan dilakukan secara sistematika mencakup aspek bio, psiko, sosio, dan spiritual. Langkah awal dari pengkajian ini adalah pengumpuln data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan klien dan keluarga, observasi pemeriksaan fisik, konsultasi dengan anggota tim kesehatan lainnya dan meninjau kembali catatan medis ataupun catatan keperawatan. Pengkajian fisik dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.

Adapun lingkup pengkajian yang dilakukan pada klien fraktur menurut Brunner and Suddarth, 2002 adalah sebagai berikut :

a. Data demografi/ identitas klien

Antara lain nama, umur, jenis kelamin, agama, tempat tinggal, pekerjaan, dan alamat klien.

b. Keluhan utama

Adanya nyeri dan sakit pada daerah punggung

c. Riwayat kesehatan keluarga

Untuk menentukan hubungan genetik perlu diidentifikasi misalnya adanya predisposisi seperti arthritis, spondilitis ankilosis, gout/ pirai (terdapat pada fraktur psikologis).

d. Riwayat spiritual

Apakah agama yang dianut, nilai-nilai spiritual dalam keluarga dan bagaimana dalam menjalankannya.

e. Aktivitas kegiatan sehari-hari

Identifikasi pekerjaan klien dan aktivitasnya sehari-hari, kebiasaan membawa benda-benda berat yang dapat menimbulkan strain otot dan jenis utama lainnya. Orang yang kurang aktivitas mengakibatkan tonus otot menurun. Fraktur atau trauma dapat timbul pada orang yang suka berolah raga dan hockey dapat menimbulkan nyeri sendi pada tangan.

f. Pemeriksaan fisik

1) Pengukuran tinggi badan

2) Pengukuran tanda-tanda vital

3) Integritas tulang, deformitas tulang belakang

4) Kelainan bentuk pada dada

5) Adakah kelainan bunyi pada paru-paru, seperti ronkhi basah atau kering, sonor atau vesikuler, apakah ada dahak atau tidak, bila ada bagaimana warna dan produktivitasnya.

6) Kardiovaskuler: sirkulasi perifer yaitu frekuensi nadi, tekanan darah, pengisian kapiler, warna kulit dan temperatur kulit.

7) Abdomen tegang atau lemas, turgor kulit, bising usus, pembesaran hati atau tidak, apakah limpa membesar atau tidak.

8) Eliminasi: terjadinya perubahan eliminasi fekal dan pola berkemih karena adanya immobilisasi.

9) Aktivitas adanya keterbatasan gerak pada daerah fraktur

10) Apakah ada nyeri, kaji kekuatan otot, apakah ada kelainan bentuk tulang dan keadaan tonus otot.

g. Tes Diagnostik

Pada klien dengan trauma tulang belakang, biasanya dilakukan beberapa tes diagnostik untuk menunjang diagnosa medis, yaitu :

1) Foto Rontgen Spinal, yang memperlihatkan adanya perubahan degeneratif pada tulang belakang, atau tulang intervetebralis atau mengesampingkan kecurigaan patologis lain seperti tumor, osteomielitis.

2) Elektromiografi, untuk melokalisasi lesi pada tingkat akar syaraf spinal utama yang terkena.

3) Venogram Epidural, yang dapat dilakukan di mana keakuratan dan miogram terbatas.

4) Fungsi Lumbal, yang dapat mengkesampingkan kondisi yang berhubungan, infeksi adanya darah.

5) Tanda Le Seque (tes dengan mengangkat kaki lurus ke atas) untuk mendukung diagnosa awal dari herniasi discus intervertebralis ketika muncul nyeri pada kaki posterior.

6) CT - Scan yang dapat menunjukkan kanal spinal yang mengecil, adanya protrusi discus intervetebralis.

7) MRI, termasuk pemeriksaan non invasif yang dapat menunjukkan adanya perubahan tulang dan jaringan lunak dan dapat memperkuat adanya herniasi discus.

8) Mielogram, hasilnya mungkin normal atau memperlihatkan “penyempitan” dari ruang discus, menentukan lokasi dan ukuran herniasi secara spesifik.


2. Diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan secara teoritis menurut Doengoes, 2000 untuk klien dengan gangguan tulang belakang, yaitu :

a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan agen pencedera fisik kompresi saraf: spasme otomatis.

b. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri: ketidaknyamanan; spasme otot; kerusakan neuromuscular.

c. Anxietas/ koping individu tidak efektif berhubungan dengan krisis situasi; perubahan status kesehatan; ketidakadekuatan mekanisme koping.

d. Immobilisasi berhubungan dengan ketidakmampuan berjalan

e. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kehilangan sensori dan mobilitas permanen.

f. Retensi urinarius berhubungan dengan cedera vertebra

g. Konstipasi berhubungan dengan efek kerusakan spinalis

h. Disfungsi seksual berhubungan dengan disfungsi neurologi


3. Perencanaan keperawatan

Perencanaan keperawatan secara teoritis menurut Doengoes, 2000 adalah sebagai berikut :

a. Diagnosa keperawatan I

Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan agen pencedera fisik kompresi saraf: spasme otomatis.

Tujuan : Nyeri hilang atau terkonrol

Kriteria hasil :

1. Klien melaporkan nyeri hilang atau terkontrol

2. Klien dapat mengungkapkan yang dapat menghilangkan

3. Klien dapat mendomenstrasikan penggunaan intervensi terapeutik seperti keterampilan relaksasi, modifikasi perilaku untuk menghilangkan nyeri.

Rencana tindakan :

1) Kaji adanya keluhan nyeri, catat lokasi, lama serangan, faktor pencetus atau memperberat. Minta klien untuk mendapatkan skala nyeri 1 – 10.

Rasional : Membantu menentukan intervensi dan memberikan dasar untuk perbandingan dan evaluasi terhadap terapi.

2) Pertahankan tirah baring selama fase akut. Letakkan klien dalam posisi semi fowler dengan tulang spinal, pinggang dan lutut dalam keadaan fleksi; posisi telentang dengan atau tanpa meninggikan kepala 10° - 30° atau pada posisi lateral.

Rasional : Tirah baring dalam posisi yang nyaman memungkinkan klien untuk menurunkan penekanan pada bagian tubuh tertentu dan intervertebralis.

3) Batasi aktivitas selama fase akut sesuai kebutuhan

Rasional : Menurunkan gaya gravitasi dan gerak yang dapat menghilangkan spasme otot dan menurunkan edema dan tekanan pada struktur sekitar discus intervertebralis yang terkena.

4) Letakkan semua kebutuhan, termasuk bel panggil dalam batas yang mudah dijangkau atau diraih klien.

Rasional : Menurunkan resiko peregangan saat meraih

5). Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi

Rasional : Memfokuskan perhatian klien dan membantu menurunkan tegangan otot dan meningkatkan proses penyembuhan.

6). Instruksikan atau anjurkan klien untuk melakukan mekanisme tubuh atau gerakan yang tepat.

Rasional : Menghilangkan stress pada otot dan mencegah trauma lebih lanjut.

7) Berikan kesempatan untuk berbicara atau mendengarkan masalah klien

Rasional : Berbicara dapat menurunkan strees atau rasa takut selama dalam keadaan sakit dan dirawat.

8) Berikan tempat tidur ortopedik atau letakan papan dibawah kasur atau matras.

Rasional : Memberikan sokongan dan menurunkan fleksi spinal yang menurunkan spasme.

9) Berikan obat sesuai kebutuhan: relakskan otot seperti Diazepam (Valium)

Rasional : Merelaksasikan otot dan menurunkan nyeri

b. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri: ketidaknyamanan; spasme otot; kerusakan neuromuscular.

Tujuan : Kerusakan mobilitas fisik tidak terjadi

Kriteria hasil :

1. Klien mengungkapkan pemahaman tentang situasi atau faktor resiko dan aturan pengobatan individu.

2. Mendemonstrasikan teknik atau perilaku yang mungkin

3. Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit atau kompensasi.

Rencana tindakan :

1) Berikan tindakan pengamanan sesuai indikasi dengan situasi yang spesifik.

Rasional : Tergantung pada bagian tubuh yang terkena atau jenis prosedur, aktivitas yang kurang berhati-hati akan meningkatkan kerusakan spinal.

2) Catat respon-respon emosi atau perilaku pada immobilisasi, berikan aktivitas yang disesuaikan dengan klien.

Rasional : Immobilisasi yang dipaksakan dapat memperbesar kegelisahan, peka rangsangan. Aktivitas pengalihan dapat membantu dalam memfokuskan perhatian dan meningkatkan koping dengan batasan tersebut.

3) Bantu klien untuk melaksanakan latihan rentang gerak aktif dan pasif

Rasional : Memperkuat otot abdomen dan fleksor tulang belakang, memperbaiki mekanika tubuh.

4) Anjurkan klien untuk melatih kaki bagian bawah dan lutut

Rasional : Stimulasi sir vena atau arus balik vena menurunkan keadaan vena yang statis dan kemungkinan terbentuknya trombus.

5) Bantu klien dalam melakukan ambulasi progresif

Rasional : Keterbatasan aktivitas tergantung pada kondisi yang khusus, tapi biasanya berkembang dengan lambat sesuai toleransi.

c. Anxietas/ koping individu tidak efektif berhubungan dengan krisis situasi; perubahan status kesehatan; ketidakadekuatan mekanisme koping.

Tujuan : Adaptasi klien efektif

Kriteria hasil :

1. Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang pada tingkat dapat diatasi.

2. Mengidentifikasi ketidakefektifan perilaku koping

3. Mendemonstrasikan pemecahan masalah

Rencana tindakan :
1) Kaji tingkat anxietas pasien.
Rasional : Membantu mengidentifikasi dalam keadaan sekarang

2) Berikan informasi yang akurat dan jawab dengan jujur

Rasional : Memungkinkan pasien untuk membuat keputusan yang didasarkan atas pengetahuan.

3) Berikan pasien untuk mengungkapkan masalah yang dihadapinya

Rasional : Meningkatkan koping yang sedang dihadapi

4) Kaji adanya masalah sekunder yang mungkin merintangi keinginan untuk sembuh.

Rasional : Memberikan perhatian terhadap klien, tanggung jawab untuk meningkatkan penyembuhan.

5) Cara perilaku dari orang terdekat atau keluarga yang meningkatkan peran sakit.

Rasional : Orang terdekat keluarga secara tanpa sadar memungkinkan untuk mempertahankan sesuatu yang dapat klien lakukan.

6) Rujuk pada kelompok pelayanan sosial, konselor finansial, psikoterapi dan sebagainya.

Rasional : Memberikan dukungan untuk beradaptasi pada perubahan dan memberikan sumber – sumber untuk mengatasi masalah.

d. Immobilisasi berhubungan dengan ketidakmampuan berjalan

Tujuan : Kerusakan mobilitas fisik dapat teratasi

Kriteria hasil :

1. Meningkatkan mobilitas pada tingkat paling tinggi

2. Mempertahankan posisi fungsional

3. Meningkatkan kekuatan fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh.

4. Menunjukan teknik aktivitas

Rencana tindakan :

1) Kaji derajat mobilitas yang dihasilkan oleh cedera dan perhatikan persepsi pasien terhadap imobilisasi.

Rasional : Pasien mungkin dibatasi oleh pandangan dari persepsi diri tentang keterbatasan fungsi actual, memerlukan informasi untuk meningkatkan kemajuan kesehatan.

2) Dorong partisipasi pada aktivitas terapeutik/ rekreasi

Rasional : Memberikan kesempatan untuk mengeluarkan energi, memfokuskan kembali perhatian dan membantu menurunkan isolasi sosial.

3) Intruksikan pasien untuk dibantu dalam rentang gerak aktif dan pasif pada ekstremitas yang sakit dan yang tidak sakit.

Rasional : Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang untuk meningkatkan tonus otot.

4) Dorong penggunaan latihan isometik tanpa menekuk sendi atau menggerakan tungkai, dan mempertahankan masa otot.

Rasional : Kontraksi otot isometik tanpa menekuk sendi membantu kekuatan otot

5). Konsul dengan ahli terapi fisik/ okupais, rehabilitasi spesial

Rasional : Berguna dalam membuat akktifitas individual latihan

e. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kehilangan sensori dan mobilitas permanen.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kerusakan integritas kulit dapat teratasi.

Kriteria hasil :

1. Menunjukan perilaku untuk mencegah kerusakan kulit memudahkan penyembuhan sesuai indikasi.

2. Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu/ penyembuhan lesi terjadi

Rencana tindakan :

1) Kaji kulit untuk luka terbuka, benda asing, kemerahan, perdarahan, perubahan warna.

Rasional : Memberikan informasi tentang sirkulasi kulit dan masalah yang mungkin disebabkan oleh alat traksi/ gibs.

2) Masase kulit dan penonjolan tulang, pertahankan tempat tidur kering dan bebas kerutan.

3) Ubah posisi dengan sering

4) Gunakan tempat tidur busa, bulu domba, bantal apung atau kasur udara sesuai indikasi.

f. Retensi urinarius berhubungan dengan cedera vertebra

Tujuan : Setelah dilakukan tindak keperawatan retensi urinarius teratasi.

Kriteria hasil : Mengosongkan kandung kemih secara adekuat sesuai kebutuhan individu.

Rencana tindakan :

1) Observasi dan catat jumlah frekuensi berkemih

Rasional : Menentukan apakah kandung kemih dikosongkan dan saat kapan intervensi itu diperlukan.

2) Lakukan palpasi terhadap adanya distensi kandung kemih

Rasional : Menandakan adanya retensi urine

3) Tingkat pemberian cairan

Rasional : Mempertahankan fungsi ginjal

4) Berikan stimulasi terhadap pengosongan urine dengan mengalirkan air hangat diarea suprapubis.

g. Disfungsi seksual berhubungan dengan disfungsi neurologi

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan disfungsional teratasi.

Kriteria Hasil : Mengungkapkan penerimaan efek penggunaan obat pada fungsi seksual.

Rencana Tindakan :

1). Kaji informasi pasien tentang saat ini dan biarka pasien menggambarkan masalah dengan bahasanya sendiri.

Rasional : Menentukan tingkat pengetahuan pasien yang menjadi kebutuhan

2). Diskusikan prognosis untuk disfungsi seksual misalnya impotent atau hasrat seksual rendah.

Rasional : Impoten diatasi dengan pantangan dari obat, pada kira-kira 25% yang kembali berfungsi normal adalah lambat, 5 % tetap impotent.


  1. Implementasi Keperawatan

Pelaksanaan keperawatan adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. (Drs. Nasrul Effendi, 2000). Ada tiga fase dalam tindakan keperawatan, yaitu :

1. Fase Persiapan

Meliputi pengetahuan tentang rencana, validasi rencana, pengetahuan dan keterampilan menginterpretasikan rencana, persiapan klien dan lingkungan.

2. Fase Intervensi

Merupakan puncak dari implementasi yang berorientasi pada tujuan dan fokus pada pengumpulan data yang berhubungan dengan reaksi klien termasuk reaksi fisik, psikologis, sosial dan spiritual. Tindakan keperawatan dibedakan berdasarkan kewenangan dan tanggung jawab secara professional, yaitu :

    1. Secara Mandiri (Independen)

Adalah tindakan yang diprakarsai sendiri oleh perawat untuk membantu pasien dalam mengatasi masalahnya atau menanggapi reaksi karena adanya stressor (penyakit), misalnya :

1) Membantu klien dalam melakukan kegiatan sehari – hari

2) Melakukan perawatan kulit untuk mencegah dekubitus

3) Memberikan dorongan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya secara wajar.

4) Menciptakan lingkungan terapeutik

b. Saling ketergantungan/ kolaborasi (Interdependen)

Adalah tindakan keperawatan atas dasar kerja sama sesama tim perawatan atau kesehatan lainnya seperti dokter, fisiotherapy, analisis kesehatan, dsb.

c. Rujukan/ Ketergantungan

Adalah tindakan keperawatan atas dasar rujukan dari profesi lain diantaranya dokter, psikologis, psikiater, ahli gizi, fisiotherapi, dsb.

Pada penatalaksanaanya tindakan keperawatan dilakukan secara :

1). Langsung : Ditangani sendiri oleh perawat

2). Delegasi : Diserahkan kepada orang lain/ perawat lain yang dapat dipercaya

3. Fase Dokumentasi

Merupakan terminasi antara perawat dan klien. Setelah implementasi dilakukan dokumentasi terhadap implementasi yang dilakukan. Ada tiga sistem pencatatan yang digunakan :

    1. Sources Oriented Record
    2. Problem Oriented Record
    3. Computer Assisted Record

5. Evaluasi Keperawatan

Adalah mengukur keberhasilan dari rencana dan pelaksanaan tindakan keperawatan yang dilakukan dalam memenuhi kebutuhan klien. Teknik penilaian yang didapat dari beberapa cara, yaitu :

1. Wawancara : Dilakukan pada klien dan keluarga

2. Pengamatan : Pengamatan klien terhadap sikap, pelaksanaan, hasil yang dicapai dan perubahan tingkah laku klien.

Jenis evaluasi ada dua macam, yaitu :

a. Evaluasi Formatif

Evaluasi yang dilakukan pada saat memberikan intervensi dengan respon segera.

b. Evaluasi Sumatif

Merupakan rekapitulasi dari hasil observasi dan analisis status pasien pada saat tertentu berdasarkan tujuan rekapitulasi dari hasil yang direncanakan pada tahap perencanaan. Ada tiga alternatif yang dapat dipergunakan oleh perawat dalam memutuskan/ menilai :

1) Tujuan tercapai : Jika klien menunjukkan perubahan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.

2) Tujuan tercapai sebagian : Jika klien menunjukkan perubahan sebagian dari standar dan kriteria yang telah ditetapkan.

3) Tujuan tidak tercapai : Jika klien tidak menunjukkan perubahan dan kemajuan sama sekali dan akan timbul masalah baru.